Kepimilikan Saham Buruh

banner 468x60

Oleh: Suroto

JAKARTA, jurnal-ina.com – Setiap tanggal 1 Mei kita selalu memperingati hari buruh. Namun hingga hari ini, kebijakan perburuhan kita tidak mengalami kemajuan secara substansial dan mendasar. Masih terjebak pada isu-isu lama seperti soal gaji layak, masalah status buruh alih daya, lingkungan kerja yang layak dan isu serpihan lainya.

Read More
banner 300x250

Belum ada isu yang lebih mutakhir seperti misalnya soal kepemilikan saham buruh korporat swasta, perwakilan suara buruh di struktur komisaris dan direksi, pembatasan rasio gaji tertingi dan terendah dan isu mendasar lainnya. Padahal, isu perburuhan di negara lain, bahkan di negara yang kita sebut sebagai jantungnya dari kapitalisme pusat seperti Amerika Serikat atau Inggris sejak lama telah terapkan kebijakan tersebut.

Di Amerika Serikat, UU mengenai Kepemilikan Saham Buruh (Employee Share Ownership Plan/ESOP) telah diterapkan sejak tahun 1974. Dalam derajat isunya terus ditingkatan dan selalu menjadi bahan kampanye calon Presiden. Terakhir, Bernie Sanders, bakal kandidat presiden dari Partai Demokrat pada masa kampanye 2019, sempat mencuatkan gagasan tentang ESOP Demokratis, yaitu kepemilikan saham buruh hingga lebih dari 50% di perusahaan.

Tak hanya Bernie, sebelumnya Hilary Clinton juga telah mengusulkan program pengurangan pajak bagi perusahaan yang membagi keuntungan kepada buruhnya. Di Inggris, pimpinan Partai Buruh Jeremy Corbyn juga begitu gencar untuk kampanyekan program kepemilikan saham buruh.

Sangat ironis, di negara kita yang katanya menganut asas hidup penuh gotong royong, Pancasilais berkemanusiaan yang adil beradab serta menjunjung tinggi keadilan sosial dan konstitusinya, katanya menganut sistem kedaulatan rakyat dan demokrasi ekonomi. Namun masalah mendasar seperti isu kepemilikan saham untuk buruh, atau perwakilan buruh di struktur komisaris dan direksi, pembatasan rasio gaji tertinggi – terendah, tidak pernah mencuat jadi pembahasan di ruang pengambil kebijakan publik. Bahkan sekedar jadi diskursus pun tidak pernah terjadi.

Tak satupun kandidat presiden di Permilu baru baru ini yang mengangkat isu ini. Hampir semua isu populis yang diangkat hanya seputar alokasi fiskal untuk berbagai bantuan sosial seperti mislmya makan gratis. Celakanya, rakyat kita itu lebih memilih cara instan ini, mengharap negara memberikan belas kasih. Padahal sumber dana dari belas kasih itu bersumber dari pajak yang juga harus dibayar oleh rakyat sendiri. Program yang sebetulnya memelintir leher rakyat sendiri.

Isu yang pernah saya lontarkan soal Penyerahan Saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke seluruh rakyat dan menjadi viral di media juga langsung dibantah oleh semua kandidat Presiden, dilepeh dan dimentahkan. Padahal BUMN adalah perusahaan negara dan negara itu milik rakyat dan rakyat dapat kendalikan perusahaan BUMN itu secara langsung jika sahamnya diserahkan kepada mereka. Aksiomanya, apa yang tak kita miliki itu tak dapat kita kendalikan.

Dari dua kasus di atas, artinya rakyat Indonesia kebanyakan sesungguhnya hanya ditempatkan sebagai obyek karitas, dihinakan sebagai penerima belas kasihan dan bukan ditempatkan sebagai subyek penting pembangunan oleh elit politik. Bukan dihargai sebagai pemilik kekuasaan (kedaulatan) sejati atas republik ini tapi hanya sebagai alat kepentingan elit politik untuk meraih kekuasaan bagi kepentingan perut mereka sendiri.

Kepemilikan Saham dan Kesenjangan

Awal sejarah diterapkannya kebijakan Kepemilikan Saham Buruh/ESOP di Amerika Serikat dimulai dengan perdebatan publik mengenai isu kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi tahun 1970-an. Menjadi perdebatan serius dari akademikus, organisasi buruh dan tokoh tokoh masyarakat serta pemerintah yang kemudian lahirkan Undang Undang Kepemilikan Saham Buruh (ESOP).

Masalah kepemilikan saham untuk buruh sesungguhnya masalah penting yang tidak hanya menyangkut soal isu kesejahteraan, soal peran partisipasi buruh untuk turut mengambil kebijakan di perusahaan, atau urusan internal perusahaan. Lebih penting lagi adalah demi kepentingan pencapaian keadilan sosial ekonomi. Apalagi Kepemilikan Saham Buruh demokratis seperti yang diusulkan Bernie, ini penting untuk ciptakan satu sistem pasar yang adil, atau fair karena dengan demikian hubungkan secara langsung kendali buruh dalam kepemilikan perusahaan yang berarti menghubungkan langsung masalah kontrol orang banyak terhadap pasar.

Kesenjangan ekonomi kita yang menurut Suissie Credit Institute (2022) angka rasio gini kekayaannya sudah sangat parah hingga 0,77 dengan tingkat kedalaman kesenjanganya jauh di bawah dari rata rata dunia (Suroto, Tempo.co, 11/8/ 2023). Dilaporkan oleh Oxfam (2022) bahwa kekayaan dari 4 keluarga konglomerat itu sama dengan 100 juta rakyat Indonesia yang termiskin. Ekstrim lagi adalah laporan FAO (2023), ternyata dari 270-an juta penduduk kita 16,2 jutanya pergi tidur dengan perut kosong. Ini artinya soal kesenjangan itu sangat penting untuk ditangani dan untuk menghilangkanya, salah satunya adalah dengan strategi pembagian saham untuk buruh. Syukur menggunakan skema pembagian demokratis di atas 50%.

Di samping pembagian saham buruh di perusahaan swasta tentu juga akan bagus lagi apabila ditambah dengan agenda-agenda demokrastisasi ekonomi lainnya seperti misalnya pembatasan rasio gaji tertinggi – terendah, pajak harta bersih, penyerahan saham BUMN ke warga, penjaminan pendapatan minimum warga sebagai hak asasi dan lain sebangainya. Agar buruh, rakyat banyak benar-benar memiliki kekuasaan atas negara ini secara riil dan bukan hanya imjinasi belaka. Selamat Hari Buruh sedunia!

Jakarta, 30 April 2024

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)

Suroto

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *