Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
JAKARTA, jurnal-ina.com – Program ambisius bertajuk Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) telah dijalankan Pemerintah. Tujuan utamanya terdengar revolusioner, membangun koperasi di lebih dari 80.000 desa di seluruh Indonesia sebagai upaya mewujudkan ekonomi gotong royong dan demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Namun dalam pelaksanaannya, program ini justru menyimpan ironi yang sangat dalam. Kehadirannya tidak menjawab persoalan mendasar koperasi rakyat, melainkan mengulangi kesalahan lama dengan pendekatan yang birokratis, elitis dan terlepas dari semangat gerakan rakyat. Kopdes Merah Putih lebih tampak sebagai proyek simbolik ketimbang alat transformasi sosial-ekonomi yang sejati.
Program ini tidak hanya gagal memberdayakan masyarakat, tetapi juga menghambat tumbuhnya koperasi yang otentik. Dalam bentuknya sekarang, dia lebih merupakan perpanjangan tangan negara, bukan buah dari inisiatif rakyat. Alih-alih memperluas demokrasi ekonomi, yang terjadi adalah pemusatan kuasa, matinya partisipasi dan lahirnya koperasi-koperasi palsu.
Masalah paling mendasar dari program Kopdes Merah Putih adalah bahwa para pengurus koperasi yang ditunjuk sebagian besar tidak memahami apa itu koperasi, baik secara konseptual maupun praktek pengelolaannya. Banyak di antara mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan koperasi yang memadai, tidak pernah menjadi bagian dari proses pengorganisasian komunitas, bahkan tak tahu perbedaan koperasi dengan badan usaha biasa.
Padahal koperasi bukan sekadar alat distribusi modal atau tempat menyimpan dana. Dia adalah wadah kolektif yang dijalankan berdasarkan prinsip otonomi, demokrasi, partisipasi aktif anggota, solidaritas dan kemandirian. Tanpa pengetahuan dan kesadaran ini, koperasi hanya akan menjadi papan nama, struktur legal tanpa substansi.
Di lapangan, koperasi yang dibentuk melalui program ini cenderung menjadi koperasi pasif. Menunggu instruksi dan tidak ada kebermaknaan sebagai lembaga demokrasi warga. Tidak ada perencanaan usaha yang hidup dan tidak ada pengembangan berbasis kebutuhan lokal. Bahkan, banyak pengurus sendiri tidak memahami anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi mereka.
Kritik kedua yang tak kalah penting adalah soal pendekatan pembangunan yang sangat sentralistik. Semua proses mulai dari pembentukan, pelatihan, hingga penyusunan program kerja koperasi dikendalikan dari pusat.
Dalam logika koperasi yang sejati, ini adalah kekeliruan besar. Koperasi seharusnya tumbuh dari bawah ke atas (bottom-up), dari kebutuhan dan aspirasi lokal, dari masalah yang dihadapi komunitas sendiri. Ketika segala sesuatunya ditentukan dari pusat, maka rakyat desa kehilangan ruang untuk mengembangkan inisiatif, kreativitas dan kepemilikan terhadap organisasi yang dibentuk atas nama mereka.
Koperasi menjadi proyek negara, bukan gerakan rakyat. Maka tak heran bila program ini justru gagal merangsang semangat kewirausahaan kolektif yang seharusnya menjadi motor ekonomi rakyat. Koperasi hanya akan aktif selama proyek berjalan dan kembali mati ketika dukungan dari pusat berhenti seperti kasus Koperasi Unit Desa (KUD) di masa Orde Baru (Orba).
Seiring dengan pendekatan sentralistik tadi, dominasi birokrasi dan kepentingan politik adalah batu sandungan besar. Koperasi dijadikan perpanjangan tangan program kementerian, dijadikan alat pelaksanaan proyek tertentu, atau bahkan menjadi ladang pengaruh politis di tingkat desa.
Akibatnya, alih-alih menjadi alat pemberdayaan, koperasi justru terbebani struktur administratif yang rumit, penuh pelaporan teknis dan berorientasi proyek. Anggaran akan habis untuk biaya operasional, pelatihan formalistik dan pengadaan seremonial. Tidak ada ruang untuk mengembangkan usaha berbasis komunitas, tidak ada penguatan ekuitas atau produksi lokal, apalagi redistribusi hasil secara adil kepada anggota.
Dalam konteks ini, koperasi bahkan menjadi alat pendisiplinan baru atas masyarakat desa. Mengajarkan mereka untuk patuh pada birokrasi, bukan untuk membangun kedaulatan ekonomi mereka sendiri.
Gerakan De-ofisalisasi
Untuk membalik arah kegagalan ini, Indonesia membutuhkan satu gerakan besar, de-offisialisasi koperasi. Artinya, mengembalikan koperasi dari tangan negara ke tangan rakyat. Koperasi harus dibebaskan dari dominasi birokrasi dan logika proyek. Dia harus tumbuh sebagai organisasi rakyat yang mandiri, otonom dan berakar kuat di komunitas lokal.
De-offisialisasi bukan sekadar soal pengurangan intervensi negara, tetapi soal perombakan struktural terhadap sistem pembangunan koperasi itu sendiri. Negara harus mengambil posisi baru sebagai fasilitator, bukan pelaksana. Perannya adalah membuka ruang, menyediakan infrastruktur, memberi insentif kebijakan, serta menjamin iklim kelembagaan yang memungkinkan koperasi tumbuh sehat dan demokratis.
Koperasi harus dibangun oleh komunitas sendiri, dipimpin oleh kader-kader organik yang memahami konteks lokal dan dijalankan dengan prinsip keterbukaan serta tanggung jawab kolektif.
Transformasi ini tidak akan lahir dari niat baik para elite penguasa. Dia hanya bisa terwujud jika ada gerakan sosial yang kuat dari bawah. Kita membutuhkan keterlibatan para intelektual organik — mereka yang berasal dari komunitas, memahami realitas rakyat dan bersedia mengorganisasikan pengetahuan menjadi kekuatan praksis.
Gerakan masyarakat sipil, organisasi petani, nelayan, buruh dan pelaku ekonomi lokal harus menjadi motor utama. Mereka harus membangun koperasi alternatif yang benar-benar dijalankan oleh dan untuk rakyat. Mereka harus memaksa negara mereformasi sistem melalui tekanan politik, pendidikan publik dan konsolidasi kekuatan sosial-ekonomi.
De-offisialisasi juga berarti membongkar sistem hukum yang saat ini cenderung menempatkan koperasi dalam kerangka administratif yang kaku. Undang-Undang Perkoperasian harus direvisi untuk memberi ruang lebih luas pada model koperasi komunitas yang tidak bergantung pada pengesahan birokrasi, tetapi mendapatkan legitimasi dari keanggotaan aktif dan akuntabilitas sosial.
Dalam konstitusi Indonesia, tepatnya Pasal 33 UUD 1945, dijelaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Ini adalah mandat yang menegaskan bahwa demokrasi ekonomi adalah jalan yang dipilih republik ini.
Namun demokrasi ekonomi tidak bisa dibangun dengan pendekatan otoriter. Dia tidak bisa lahir dari instruksi, seragam dan proyek-proyek birokrasi. Demokrasi ekonomi harus dibangun dari proses sosial-politik yang partisipatif, dari gerakan rakyat yang sadar dan terorganisir.
Koperasi adalah bentuk paling konkret dari demokrasi ekonomi itu. Tetapi dia hanya akan bermakna bila dijalankan dengan prinsip-prinsip yang sejati: kesetaraan, partisipasi, solidaritas dan kemandirian.
Kopdes Merah Putih, dalam bentuknya sekarang, adalah kepalsuan yang harus kita akhiri. Dia mungkin lahir dari niat baik, tetapi dijalankan dengan pendekatan keliru. Dia melahirkan koperasi-koperasi artifisial, membunuh semangat inisiatif warga dan memelihara ketergantungan terhadap negara.
Kita tidak butuh koperasi proyek, tapi koperasi gerakan. Bukan koperasi formalitas, tapi koperasi perjuangan. Kita tidak butuh lebih banyak koperasi, tapi koperasi yang benar-benar dimiliki dan dijalankan oleh rakyat.
Inilah saatnya membalik arah. Bukan menunggu negara menciptakan koperasi untuk rakyat, tapi mendorong rakyat merebut kembali koperasi dari negara. De-offisialisasi koperasi adalah syarat mutlak untuk membangun demokrasi ekonomi yang sejati.
Dan itu hanya mungkin jika rakyat sendiri yang mengambil inisiatif — membangun dari bawah, mengorganisir kekuatan sosial dan memaksakan perubahan. Karena koperasi bukan pemberian, tapi hak yang harus diperjuangkan.
Jakarta, 3 Agustus 2025
Suroto
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com