Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
JAKARTA, jurnal-ina.com – Banyak rakyat mungkin belum pernah mendengar istilah hak Per Se. Istilah ini berasal dari bahasa Latin yang berarti “pada dirinya sendiri” atau “secara langsung”. Di dunia hukum, hak per se adalah hak yang melekat dan berlaku secara otomatis tanpa memerlukan pembuktian tambahan. Dia tidak bergantung pada syarat atau kondisi tertentu, cukup ada pelanggaran, maka dia sudah terlanggar.
Konsep ini penting kita pahami, karena dia menegaskan bahwa ada hak-hak yang sifatnya mutlak, tidak boleh dikurangi, apalagi dialihkan. Dalam konteks kenegaraan, salah satu hak per se yang dimiliki rakyat Indonesia adalah kedaulatan itu sendiri.
UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Kalimat ini sederhana, namun sangat mendasar. Dia menegaskan bahwa kedaulatan adalah hak tertinggi untuk menentukan arah dan nasib negara yang ada di tangan rakyat, bukan pemerintah, bukan presiden, bukan DPR. Pemerintah hanyalah pelaksana mandat rakyat, bukan pemilik negara.
Sifat dari kedaulatan ini absolut. Dia tidak direpresentasikan secara permanen, tidak didelegasikan untuk kemudian dianggap berpindah. Dalam pengertian hak Per Se, rakyat tetaplah pemilik asli kedaulatan itu, kapan pun dan dalam keadaan apa pun. Pemerintah hanyalah penyelenggara sementara yang tunduk pada amanat konstitusi.
Persoalan menjadi serius ketika muncul tafsir atau bahkan aturan hukum yang mencoba memindahkan sifat kepemilikan ini dari rakyat kepada pemerintah. Perubahan Ketiga UU BUMN adalah contoh nyata. Dalam pasal 3A ayat (2) yang baru, pemerintah disebut bukan lagi hanya memiliki hak mengelola, tetapi juga hak kepemilikan atas aset BUMN dan aset negara.
Perubahan ini bukan sekadar redaksi teknis. Dia menggeser logika dasar konstitusi. Pemerintah yang semula hanyalah pengelola amanat rakyat, kini diposisikan sebagai pemilik. Inilah titik rawan yang berbahaya. Sebab, ketika pemerintah merasa memiliki, dia akan cenderung mempersonifikasikan negara sebagai dirinya sendiri. Dari sinilah pintu kesewenang-wenangan terbuka lebar.
Kita sudah mendengar pernyataan seorang menteri yang dengan enteng mengatakan “tanah itu milik pemerintah.” Padahal, dalam kerangka hak per se, tanah dan seluruh sumber daya strategis adalah milik rakyat. Pemerintah hanya diberi mandat mengelolanya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Begitu mandat ini dipelintir menjadi kepemilikan, maka legitimasi untuk menjual, menggadaikan, atau mengalihkan aset negara kepada pihak tertentu pun menjadi terbuka lebar.
Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kata “dikuasai” di sini bukan berarti “dimiliki” oleh pemerintah, melainkan mandat untuk mengatur, mengurus, mengelola dan mengawasi demi kepentingan publik.
Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya telah menegaskan tafsir ini. Negara tidak boleh dipahami sebagai pemerintah saja, melainkan sebagai seluruh perangkat kedaulatan rakyat yang menjalankan mandat konstitusi.
Ketika UU BUMN Perubahan Ketiga memasukkan frasa kepemilikan oleh pemerintah, maka dia bertentangan dengan tafsir konstitusi itu sendiri. Dia melanggar hak per se rakyat atas kedaulatan negara. Ini bukan pelanggaran kecil. Ini adalah pergeseran paradigma kepemilikan dari rakyat kepada pemerintah yang, jika dibiarkan, akan melegitimasi privatisasi aset publik secara masif.
Transaksi Ekonomi Yang Merugikan
Mengapa ini penting dibahas sekarang? Karena ketika pemerintah merasa memiliki aset BUMN, dia akan lebih mudah menjadikan aset itu sebagai instrumen politik jangka pendek atau bahkan transaksi ekonomi yang merugikan rakyat. Penjualan saham BUMN strategis, pemindahtanganan aset vital, atau pengalihan fungsi lahan produktif bisa dilakukan tanpa rasa bersalah.
Pemerintah dapat berdalih bahwa semua itu adalah haknya sebagai pemilik. Padahal, dalam prinsip hak Per Se, pemerintah tidak pernah dan tidak boleh menjadi pemilik. Pemiliknya adalah rakyat dan setiap kebijakan yang menyangkut aset negara harus mendapatkan persetujuan rakyat secara sah, baik melalui wakil rakyat yang benar-benar menjalankan fungsi kontrol, maupun melalui mekanisme partisipasi publik yang otentik.
Bayangkan jika konsep kepemilikan ini dibiarkan. Hari ini mungkin pemerintah menjual sebagian kecil saham BUMN dengan alasan efisiensi. Besok, ketika krisis melanda, seluruh aset strategis bisa saja berpindah tangan ke korporasi global atau oligarki domestik dengan legitimasi hukum yang sudah disiapkan sejak hari ini.
Karena itu, Perubahan Ketiga UU BUMN harus segera diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Argumentasinya jelas: dia bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 33 UUD 1945, serta mengabaikan sifat hak Per Se rakyat atas kedaulatan negara dan kepemilikan aset publik.
Uji materi ini bukan sekadar soal hukum formal, tetapi juga soal moral konstitusi. Kita tidak boleh membiarkan definisi kepemilikan negara direduksi menjadi kepemilikan pemerintah. Sebab jika itu terjadi, yang kita saksikan bukan lagi negara yang bekerja untuk rakyat, melainkan rakyat yang bekerja untuk negara. Yang telah “diprivatisasi” oleh pemerintahnya sendiri.
Pada akhirnya, sebesar apa pun kerusakan yang dilakukan satu kebijakan, dia hanya bisa terjadi jika rakyat diam. Kesadaran publik atas hak-haknya adalah benteng terakhir. Kita perlu mengedukasi diri bahwa dalam kerangka hak Per Se, kedaulatan kita atas negara dan aset publik tidak pernah bisa dipindahtangankan.
Pemerintah datang dan pergi, tetapi rakyat adalah pemilik sah negara ini. Jangan biarkan bahasa hukum yang rumit menutupi niat menggeser kepemilikan ini. Saat satu undang-undang melanggar konstitusi, rakyat berhak dan bahkan wajib memintanya dibatalkan.
Inilah saatnya kita tidak hanya memahami hak Per Se sebagai konsep hukum, tetapi juga sebagai alat perjuangan politik rakyat. Sebab begitu hak ini dirampas, kita tidak lagi hidup dalam negara berdaulat, melainkan di perusahaan besar bernama “pemerintah” yang menganggap kita hanya buruh atau pelanggan.
Hak Per Se rakyat atas negara adalah fondasi republik ini. Mengubahnya berarti meruntuhkan rumah besar yang dibangun para pendiri bangsa. UU BUMN Perubahan Ketiga bukan hanya masalah teknis manajemen aset, melainkan ujian terbesar kita untuk tetap setia pada UUD 1945. Jika kita lalai, maka kedaulatan itu akan tergerus, bukan oleh penjajah asing, tetapi oleh tangan-tangan yang mengaku mewakili kita.
Suroto