Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
JAKARTA, jurnal-ina.com – Di Indonesia ini, ada satu jenis kelas buruh yang jarang disebut dalam berbagai diskusi tentang perburuhan, namun jumlahnya sangat masif. Mereka ada di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Mereka adalah buruh kasar harian lepas.
Mereka adalah orang-orang yang bekerja dengan andalkan kekuatan fisiknya secara penuh. Membangun jembatan, jalan raya, gedung gedung, perkebunan dan pertanian secara luas. Ada di jalanan, gorong gorong, di kebun. Bekerja di bawah terik matahari yang menyengat.
Mereka tidak berserikat untuk perjuangkan nasib. Tidak punya waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya untuk membahas perubahan nasib mereka. Sebab mereka harus bekerja sehari penuh dari pagi jam delapan hingga jam lima sore dengan tingkat kelelahan fisik yang tak terperi.
Disebut sebagai buruh harian karena memang jasanya hanya dimanfaatkan secara harian. Hari ini dipakai, besok bisa saja dipecat. Mandor, atau pihak yang merekrut, jika tidak membutuhkanya esok hari, atau kecewa dengan hasil pekerjaanya hari ini otomatis langsung dapat menghentikanya secara sepihak tanpa basa basi.
Disebut sebagai buruh lepas karena mereka itu tidak diikat kontrak sama sekali. Tidak ada satu lembar kertaspun yang berisi kesepakatan antara pemberi kerja dan buruh. Hanya komitmen lisan tentang jumlah jam kerja perhari. Tarif upah yang jauh dari layak.
Mereka ditemui para perekrut di gardu, atau di bawah pohon rindang di pinggir jalan sebagai tempat yang setengah disepakati bersama sebagai pusat para pengadu nasib. Bursa kerja. Biasanya mereka ditawarkan gaji antara Rp75.000-Rp100.000 per hari dan jam kerja sehari penuh kurang lebih 8 – 10 jam. Jika tak mau terima tawaran silahkan menyingkir.
Tidak ada tanggungjawab sosial dari perekrut. Lepas begitu saja. Dalam praktek, justru mandor ini juga memungut fee kepada mereka sebesar 5-10% per hari dari sejumlah gaji yang mereka terima.
Penopang Ekonomi Keluarga
Sistem perbudakan secara vulgar seperti ini didiamkan oleh elite politik dan elite kaya. Nasib hidup mereka yang buruk seperti ini tidak pernah ada dalam pikiran mereka. Padahal, mereka rata-rata adalah penopang satu-satunya dari ekonomi keluarga.
Mereka hidup di rumah-rumah bedeng kontrakkan di daerah perkotaan yang jauh dari kata layak. Harus bertahan di tengah hidup yang mencekik. Untuk bertahan hidup, merekapun harus gunakan secara tambalsulam pinjaman dari rentenir dengan bunga yang mencekik hingga 20-30% per bulan hanya untuk bayar tagihan kontrakkan kamar 3 x 5 meter.
Anak-anak mereka banyak yang terlantar. Menderita gizi buruk dan putus sekolah. Mereka lahirkan kemiskinan baru. Generasi miskin baru yang lemah secara fisik maupun mental.
Mereka, selama ini juga tidak masuk bagian penting dari sasaran kebijakan perbaikan kesejahteraan buruh yang dibuat pemerintah. Di statistik pemerintah hanya disebut sebagai kelompok pekerja informal. Mereka adalah korban kemiskinan struktural yang riil. Kemiskinan yang tercipta oleh sistem ekonomi, kebijakan dan regulasi yang tidak memihak kepada rakyat.
Mereka yang bekerja di kantor, dengan fasilitas ruang ber-AC dengan temperatur nyaman, bergaji berlipat-lipat dari Upah Minimum Regional (UMR) tentu tidak mengenal mereka. Bahkan ketika kebijakan itu diproduksi, mereka justru sengaja untuk melanggengkannya.
Kondisi sosial ekonomi mereka bukan hanya buruk, tapi secara sistematis memang sengaja dikerdilkan supaya tetap terus dapat dikangkangi oleh kepentingan para elite politik dan elite kaya. Hal ini dapat dilihat dari model regulasi dan kebijakan yang buruk.
Hari ini, 194 juta rakyat Indonesia hidup di dalam kondisi miskin. Buruh kasar harian lepas itu masuk dalam 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin yang kekayaanya jika dijumlah sama dengan 4 keluarga komglomerat. Tapi mereka bukan angka statistik. Mereka adalah rakyat, yang punya hak untuk menikmati kemakmuran dan keadilan dan mereka adalah pemilik kekuasaan absolut dari negara ini.
Jakarta, 25 Juni 2025
Suroto