Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
JAKARTA, jurnal-ina.com – Pada tanggal 21 Juli 2025, pemerintah secara resmi menyatakan telah membentuk 80.000 unit Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Proyek ini dibungkus sebagai strategi penguatan ekonomi desa berbasis koperasi. Namun, proses pendiriannya justru mencerminkan pendekatan koersif dari atas ke bawah (top-down) bertentangan dengan semangat dan prinsip dasar koperasi itu sendiri.
Berdasarkan pengamatan lapangan yang kami lakukan, pendirian KDMP tidak tumbuh dari inisiatif warga desa. Koperasi dipaksakan melalui tekanan struktural oleh pemerintah pusat, antara lain ancaman penghentian alokasi Dana Desa bagi desa yang tidak segera membentuk koperasi, pemaksaan melalui mekanisme Musyawarah Desa Khusus (Musdesus), janji pinjaman dari bank pemerintah (Bank Himbara), serta iming-iming penugasan untuk menyalurkan pupuk, gas elpiji dan berbagai komoditas strategis lainnya. Kombinasi tekanan dan insentif semu inilah yang menjelaskan bagaimana 80.000 koperasi dapat “dibentuk” dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Namun, keberhasilan administratif semacam ini justru menimbulkan kekhawatiran serius. Koperasi yang lahir dari paksaan dan intervensi negara akan kehilangan akar sosialnya. Dia tidak akan memiliki daya tahan, karena dibangun bukan dari kesadaran, kebutuhan riil, atau partisipasi aktif masyarakat. Dalam jangka panjang, model ini hanya akan melahirkan koperasi-koperasi semu—yang keberadaannya tidak lebih dari stempel legal formalitas demi pencapaian target politik.
Koperasi yang sejati bukanlah instrumen birokrasi atau alat pelengkap program pemerintah. Koperasi adalah gerakan sosial-ekonomi yang bersumber dari kesadaran dan kehendak rakyat. Koperasi dibangun di atas prinsip otonomi, kemandirian, kesetaraan dan demokrasi ekonomi. Ketika prinsip-prinsip ini dikhianati melalui pendirian koperasi model top-down, maka yang terjadi bukanlah pembinaan koperasi, melainkan pembinasaan koperasi.
Dari sinilah pentingnya gerakan arus balik. Gerakan ini adalah bentuk perlawanan masyarakat sipil terhadap upaya koersif negara yang merusak makna koperasi. Harus dimulai dengan pendidikan kritis kepada masyarakat tentang apa itu koperasi yang sejati dan bagaimana membedakannya dari koperasi palsu yang direkayasa kekuasaan. Koperasi sejati lahir dari kebutuhan ekonomi bersama, bukan dari proyek birokrasi.
Konsolidasi Pengetahuan
Gerakan ini juga harus memperkuat upaya pendirian koperasi alternatif yang lahir dari bawah, dengan prinsip-prinsip yang benar. Perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama dan adat, serta organisasi masyarakat sipil perlu bersatu untuk melakukan konsolidasi pengetahuan dan penyadaran. Advokasi hukum juga penting dilakukan terhadap penyimpangan regulasi, terutama dalam penggunaan dana publik (APBN) yang dialokasikan untuk proyek koperasi politik seperti KDMP ini.
Momentum tahun 2025 sebagai Tahun Koperasi Internasional yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seharusnya dimanfaatkan untuk membangkitkan semangat baru dalam gerakan koperasi di Indonesia. Justru ironis jika pada saat dunia memberi penghormatan terhadap koperasi sebagai model ekonomi masa depan yang berkelanjutan dan inklusif, pemerintah Indonesia justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Apabila tidak dihentikan, proyek semacam KDMP akan memperpanjang trauma kolektif masyarakat terhadap koperasi. Kita sudah terlalu sering melihat koperasi digunakan sebagai alat kekuasaan—baik pada era Orde Baru maupun masa reformasi. Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap koperasi terus tergerus.
Oleh karena itu, de-offisialisasi koperasi harus menjadi agenda gerakan rakyat. Pemerintah harus melepaskan kontrol koersif terhadap pendirian dan pengelolaan koperasi. Yang dibutuhkan masyarakat bukan koperasi titipan kekuasaan, melainkan ruang untuk membangun koperasi mereka sendiri sesuai kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka yakini.
Gerakan arus balik ini tidak hanya penting untuk menyelamatkan koperasi dari perusakan sistemik, tetapi juga untuk merebut kembali makna sejati demokrasi ekonomi sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945. Tanpa koperasi yang otonom dan partisipatif, cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan tetap menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan.
Jakarta, 27 Juli 2025
Suroto