Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
JAKARTA, jurnal-ina.com – Ada satu pemahaman yang salah dan bersifat kolosol atau ramai-ramai yang dilakukan oleh pemerintah dari level pusat hingga level desa dalam pemahaman pembangunan koperasi. Kesalahan itu terlihat dari motivasi, cara dan tujuan pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih dengan dikeluarkanya Inpres No. 9 Tahun 2025 Tentang Percepatan Pengembangan Kopdes Merah Putih.
Kopdes Merah Putih yang dibentuk oleh pemerintah sudah salah konsep secara mendasar. Koperasi seharusnya motivasi pembentukanya oleh masyarakat sendiri, bukan pemerintah. Sebab, lahirnya koperasi justru untuk mengoreksi kegagalan sistem distribusi kesejahteraan yang dilakukan oleh pemerintah maupun sistem korporasi kapitalis.
Koperasi harusnya ditumbuhkan prakarsanya oleh masyarakat sendiri. Ini sangat penting karena jika ditumbuhkan oleh pemerintah maka akan sulit diharapkan keberlanjutanya.
Lihat saja seperti yang terjadi saat ini, badan hukum Kopdes Merah Putih yang dikatakan sudah mencapai 40-an% dari 80.000 target badan hukum koperasi belum ada yang operasional. Bahkan menunjukkan kebingungan dari para pendirinya sendiri.
Bagaimana bisa orang mendirikan bisnis tapi yang akan membangun bisnis masih kebingungan apa yang akan mereka lakukan. Ini pertanda bahwa mereka sesungguhnya mendirikan koperasi tapi tidak paham apa yang akan mereka lakukan, bahkan lebih fatal, mereka tidak paham apa itu koperasi yang dasar.
Motivasinya sangat lemah karena datangnya dari pemerintah bukan dari masyarakat. Mereka dirikan koperasi karena adanya rencana pengucuran dana dari pemerintah bukan karena ingin jawab kebutuhan riil di masyarakat.
Dapat dipastikan, pembentukan badan hukum Kopdes dengan motivasi dari pemerintah itu akan menjadi tumpukan sampah badan hukum koperasi. Kopdes akan semakin menambah semakin besar jumlah koperasi papan nama. Selain membuat pemborosan anggaran negara dan pada giliranya hanya akan menambah citra buruk koperasi di Indonesia.
Jelas Sudah Salah
Sudah salah motivasi, cara pendirian koperasinya juga sudah salah. Koperasi ketika dibentuk sebagai badan hukum merupakan badan hukum privat. Badan hukum koperasi itu adalah badan hukum privat, persona ficta. Koperasi bukan entitas badan hukum publik seperti pemerintah. Jadi pendirian koperasi yang dilakukan melalui Musyawarah Desa (Musdes) akhir-akhir ini jelas sudah salah cara.
Pembentukan koperasi jika dimasukkan dalam birokratisasi pemerintahan desa maka yang akan muncul justru berubah menjadi lembaga birokrasi dan akan menghilangkan kapasitas kewirausahaan dari koperasi itu untuk melayani masyarakat. Ini akan membuat koperasi lemah dan selalu menanti instruksi dari atas.
Koperasi didirikan dengan motivasi, cara dan tujuan. Kesalahan yang dilakukan ini cukup fatal karena sudah menyangkut soal soal mendasar. Soal cara pemahaman dan cara pandang terhadap lembaga koperasi. Kesalahan ini berdampak pada penyesatan kepada masyarakat terhadap pemahaman koperasi di Indonesia yang selama ini juga masih lemah.
Pemerintah harusnya cukup berada di wilayah regulator. Ciptakan regulasi dan kebijakan agar koperasi mendapat lingkungan kondusif agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Tugas ini justru selama ini tidak pernah dikerjakan oleh pemerintah.
Sampai hari ini, UU Perkoperasian kita menurut penilaian ahli hukum koperasi internasional masih merupakan model UU yang terburuk di dunia. Dalam berbagai kebijakan perekonomian dan kemasyarakatan kita juga masih berlaku diskriminatif, subordinatif dan bahkan eliminatif terhadap koperasi.
Semenjak UU No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, hingga hari ini kita belum memiliki UU Perkoperasian yang baru. Kita masih gunakan UU No. 25 Tahun 1992 yang sangat buruk. Banyak kebijakan diskriminatif terjadi pada koperasi di berbagai UU seperti UU BUMN, UU Rumah Sakit, UU Penanaman Modal dan lain-lain. Bahkan lebih parahnya koperasi tidak diakui di berbagai UU menyangkut perekonomian dan kemasyarakatan sehingga teraleniasi dari lintas bisnis modern.
Jakarta, 9 Juni 2025
Suroto
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com