Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
JAKARTA, jurnal-ina.com – Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih yang sedang gencar dikembangkan pemerintah saat ini selain salah konsep juga salah teori. Sebab orientasinya sepertinya hanya mengejar badan hukum tapi abai terhadap layanan bisnisnya dan bahkan langgar prinsip koperasi.
Hal tersebut terbukti dengan tahapan pendirian koperasi yang hanya kejar pemenuhan target 80.000 badan hukum koperasi tapi tidak ada yang jalankan bisnis sama sekali. Dari Kopdes/Kel yang telah dibentuk ternyata belum ada yang jalan usahanya dan pengurusnya bahkan masih bingung mau melakukan apa.
Mestinya koperasi itu dikembangkan dengan praktek layanan bisnis yang sudah jelas dulu baru mengurus badan hukum. Bahkan biasanya bisnis dipraktekkan dulu baru kemudian mengurus badan hukum. Bukan mengejar badan hukum baru dipikirkan bisnisnya. Ini best practices yang terjadi di koperasi seluruh dunia.
Contoh misalnya koperasi buruh kontrak (outsourcing) Urulugal Labour Contract Cooperative Societies (ULCCS) di Kerala, India yang baru saja saya lihat. Diawali oleh 14 orang buruh kontrak dengan bentuk perkumpulan kecil lalu kerjakan bisnis sederhana seperti bangun pagar, sumur dan pengerjaan dinding rumah tangga. Kemudian baru berkembang kerjakan jembatan, bangunan kantor, bangun jalan raya, kawasan dan lain-lain. Di mana saat ini telah jadi perusahaan raksasa di India.
Koperasi pertanian Japannesse Agriculture Zen-noh dan jaringanya di Jepang yang asset-nya saat ini sudah 6 kali asset korporasi Honda misalnya, semua juga dimulai dari usahanya dulu. Seperti misalnya pembelian bersama sarana produksi pertanian lalu berkembang ke semua sektor bisnis seperti industri pertanian, bank dan asuransi.
Semua bisnis dan termasuk koperasi yang berhasil di seluruh dunia dimulai dengan praktek sederhana dan bangun layanan usaha dulu. Badan hukum dibutuhkan untuk memperkuat kedudukan organisasi atau perusahaan.
Tidak Paham Hakekat
Pemerintah sepertinya tidak paham hakekat dari koperasi itu apa. Juga tidak membaca apa yang telah menjadi amar putusan Mahkamah Konstitusi paska dibatalkanya UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang dinyatakan inkonstitusional karena definisikan koperasi itu sebagai badan hukum.
Prinsip koperasi yang otonom, mandiri dan demokratis dilanggar, lalu secara konsep usaha dilaksanakan secara serampangan. Padahal, bisnis itu sangat bergantung dari orang, kemampuan entreprenuership-nya dan bukan pada keberadaan badan hukum koperasi.
Trend dunia saat ini justru sedang terjadi pengurangan jumlah badan hukum. Koperasi yang ada dikonsolidasikan dalam model amalgamasi dan merger agar mampu mendorong efisiensi kolektif koperasi dan akhirnya berikan manfaat koperasi bagi anggotanya. Semakin sedikit badan hukum akan semakin efektif koperasi lakukan konsolidasi.
Orientasi pengejaran badan hukum ini tentu kelak hanya akan menambah jumlah koperasi papan nama dan rusak citra koperasi. Padahal sebelum ditambah Kopdes/Kel saja Indonesia saat ini sudah menjadi pemilik jumlah badan hukum koperasi terbanyak di dunia, namun nihil kualitas layanan dan partisipasi bisnis dari anggotanya. Penambahan besar-besaran jumlah badan hukum yang ada selain pemborosan anggaran juga justru menambah kerumitan birokrasi.
Jakarta, 26 Mei 2025
Suroto