JAKARTA, jurnal-ina.com – Menteri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman mengutamakan pembinaan dan sanksi administratif jika ada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang melanggar aturan.
“Proses penegakan hukum pidana dalam konteks usaha mikro mohon dijadikan sebagai pilihan terakhir. Lebih baik kita ke depankan pembinaan dan sanksi administratif,” kata Menteri UMKM pada Rapat Kerja bersama Komisi III DPR-RI pada Kamis (15/5/2025) di Jakarta, sekaligus merespons kasus hukum yang menimpa pengusaha UMKM “Mama Khas Banjar”.
Menteri UMKM menekankan di kasus pelabelan pangan yang berisiko rendah atau sedang, pendekatan administratif adalah langkah yang lebih proporsional dan sejalan dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagai lex specialis dibandingkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Undang-Undang Pangan adalah aturan yang lebih rinci dan relevan dalam kasus seperti ini. Oleh karena itu, penerapan sanksi pidana sebaiknya menjadi upaya terakhir atau ultimate remedium,” pintanya.
Dia menyatakan bahwa langkah ini bukanlah bentuk pembelaan terhadap kesalahan, melainkan refleksi atas perlunya penyempurnaan mekanisme penertiban dan pembinaan UMKM. “Ini bagian dari introspeksi kami. Kementerian UMKM bertanggungjawab penuh dalam konteks permasalahan ini dan akan memperbaiki sistem perlindungan serta pembinaan terhadap UMKM,” tegas Menteri UMKM.
Maman juga menegaskan bahwa pengusaha UMKM, seperti “Mama Khas Banjar”, umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum dan keterampilan administratif. Karena itu, pendekatan hukum terhadap UMKM harus dibedakan dari penanganan terhadap usaha menengah dan besar.
“Mereka rata-rata kurang paham soal hukum, di sinilah negara hadir melalui affirmative action. Sudah menjadi tugas saya sebagai Menteri UMKM untuk lebih menggalakkan sosialisasi, percepatan kemudahan dan pendampingan kepada pengusaha UMKM di seluruh Indonesia,” ungkapnya.
Maman juga mengapresiasi aparat penegak hukum yang bekerja sesuai koridor hukum yang berlaku. Namun, dia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama melihat proses hukum ini secara lebih luas dan proporsional, demi menjaga kelangsungan ekonomi rakyat kecil.
“Dari Kacamata Ekonomi Kerakyatan”
“Apapun keputusan pengadilan, kami percaya bahwa aparat penegak hukum akan mengambil langkah yang arif dan bijaksana. Namun dengan kerendahan hati, kami sampaikan konsen Kementerian UMKM agar perkara seperti ini dipandang dari kacamata ekonomi kerakyatan,” tuturnya.
I Wayan Sudirta anggota Komisi III DPR-RI dari Fraksi PDIP menyampaikan berdasarkan TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, khususnya pasal 15 terkait keberpihakan negara kepada UMKM.
“Kita berkewajiban melakukan pengawasan agar keadilan ekonomi terwujud. Karena itu, terkait kasus ‘Mama Khas Banjar’, saya mendorong agar diberikan hukuman yang seringan-ringannya,” harap Wayan.
Dia juga mengingatkan telah ada Nota Kesepahaman (MoU) antara Kementerian Koperasi dan UKM dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). “Apabila ini dijalankan sebagaimana mestinya, maka sanksi yang diterapkan seharusnya bersifat administratif,” jelasnya
Sementara itu, Saffaruddin anggota Komisi III DPR-RI dari Fraksi PDIP menyatakan penting sikap yang bijak menegakkan hukum. “Misalnya, apabila UU perlindungan konsumen diterapkan secara apa adanya, maka saya yakin pasar tradisional tidak akan berjalan sebagaimana mestinya,” terangnya.
Oleh karena itu, dia mendorong pendekatan pembinaan bagi UMKM yang melakukan pelanggaran. “Jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh UMKM, sebaiknya tidak langsung dikenakan sanksi pidana, melainkan dibina terlebih dahulu,” bebernya.
Mulia Ginting – Erwin Tambunan
Menteri UMKM Maman Abdurrahman didampingi Wamen UMKM menjelaskan harapannya kepada Komisi III DPR-RI. Foto: Humas KemenUMKM.
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com