Jurnal-ina.com – Saya mengenal Mas Harry Wibowo atau Mas Harwib lewat almarhum Daniel Dhakidae, pimpinan redaksi Jurnal Prisma kala itu. Tepat beberapa waktu sebelum musim pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Kala itu Bang Daniel meminta agar saya menulis tentang Pancasila dan Koperasi dalam hubunganya dengan pemikiran Martin Heidegger dan Ferdinand Tonnies di Jurnal Prisma.
Tidak lama kemudian saya dihubungi oleh Mas Harwib sebagai Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma untuk maksud tersebut. Saya diundang ke kantor Jurnal Prisma di Jalan Pangkalan Jati, Cinere, Depok untuk mendiskusikan materinya.
Saya belum menyanggupi untuk menulis soal kaitan hubungan pemikiran Heidegger dan Tonnies soal koperasi. Tapi saya menuangkan tulisan tentang sejarah koperasi di Indonesia dengan judul ” Perkembangan Koperasi Indonesia : Sebuah Pembelajaran”. Edisi tulisan saya bersama beberapa penulis senior seperti Airlangga Pribadi, Arief Budimanta, Farid Gaban, Dominggus Elcid Li dll, di Jurnal Prisma untuk pertama kali itu rupanya menjadi bagian dari karya terakhir Bang Daniel sebelum meninggal yang diberikan pengantar apik olehnya dengan judul ” Krisis Korona, Homo Consumens dan Homo Republicus”.
Dari pertemuan awal itulah saya mengenal dan terjebak dalam diskusi berkepanjangan dengan Mas Harwib untuk banyak hal, baik via telepon maupun pertemuan langsung. Apalagi kala itu sedang musim Pandemi yang mana setiap orang dibatasi untuk berinteraksi, jadi pertemuan kami justru semakin intensif.
Diskusi intelektuil kadang menegang, terutama jika dikaitkan dengan soal ide koperasi dan Marxisme. Di mana posisi saya selalu bertahan jika dikaitkan dengan soal dasar pimikiran koperasi yang menerima soal instrumen pasar sebagai pembentuk harga.
Lucunya, justru ketika kami sedang bersitegang, Mas Harwib tak sungkan memborong buku untuk saya, untuk memperluas cakrawala perdebatan. Dari Mas Harwib saya jadi memiliki banyak koleksi buku tetutama dari Bruno Jossa yang banyak mengulas tentang ide sosialisme baru.
Dari banyak perdebatan soal koperasi itu jugalah kemudian Mas Harwib dan Mas E. Dwi Arya Wisesa sebagai Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma berhasil menerbitkan satu edisi khusus tentang “Gerakan koperasi dan Demokratisasi Ekonomi”. Saya menulis dengan satu judul yang provokatif “Pembina(sa)an Koperasi untuk edisi ini dan buku saya dengan judul “Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme” mendapat tempat khusus yang diulas secara apik oleh penulis muda hebat Haris Prabowo.
Mas Harwib ternyata tak hanya tertarik untuk mempromosikan kembali ide koperasi yang sedang redup di tanah air, tapi dia juga ingin “mengkoperasikan Jurnal Prisma”. Ide yang ditanggapi serius oleh Pendiri Jurnal Prisma, Mas Ismid Hadad dengan meminta saya untuk mempresentasikanya konsepnya di depan pengurus Jurnal Prisma dan bahkan di depan Yayasan Bineksos yang selama ini berperan memberikan dukungan atas terbitnya Jurnal Prisma secara rutin.
Transformasi Kelembagaan
Ide terus bergulir dan maunya Mas Harwib dikemas dalam satu paket sekalian dengan ide Jurnal Prisma menuju transformasi digital. Rapat-rapat intensif secara luring dan daring bersama pendiri dan Pengurus Jurnal Prisma dan Bineksos seperti Mas Ismid Hadad, Vedi R. Hadiz, Mas Rustam Ibrahim dan lain-lain untuk bahas transformasi kelembagaan Jurnal Prisma menjadi koperasi dan digitalisasi.
Untuk transformasi kelembagaan saya memunculkan ide agar koperasi yang dibentuk berupa model Koperasi Multi Pihak (KMP). Di mana kepemilikkan Jurnal Prisma sebaiknya dibuka untuk para penulis, pekerja redaksi dan bahkan pembaca. Sebagai benchmark, saya juga mengusulkan untuk mengadopsi model majalah New Internationalist yang juga mengalami transformasi menjadi koperasi multi pihak sejak 2008 dari sejak berdiri tahun 1970-an, di umur yang sama dengan Jurnal Prisma.
Perjumpaan dengan Mas Harwib tidak hanya mengasah kapasitas intelektuil saya pribadi, tapi advokat dan aktivis intelektuil gaek ini juga memberi kesan yang mendalam sebagai teman yang hangat. Seduhan kopi khas buatannya selalu menemani kami berdiskusi di kantornya.
Pertemuan terakhir saya saat kami tak sengaja bertemu di lobby Apartemen saya yang kebetulan satu apartemen dengan putri dan istrinya Mbak Niken. Kami makan soto di jalan Dewi Sartika, Cawang.
Beberapa hari lalu saya masih di tengah hutan Kalimantan Barat untuk berdiskusi tentang Ideologi Koperasi dengan teman-teman gerakan koperasi di sana, tiba tiba mendengar kabar dari Kak Dolorosa Sinaga via WA bahwa kondisi Mas Harwib sedang melemah di Rumah Sakit di Jakarta. Saya pagi ini baru berencana untuk menjenguk. Ternyata Mas Harwib sudah meninggalkan kita untuk selamanya. Selamat jalan Mas Harwib, damailah di surga.
Jakarta, 19 Mei 2025
Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Suroto