Dokter Atlet

Jurnal-ina.com – KESABARAN ada batas. Pun seorang Megawati Hangestri Pertiwi, atlet voli terbaik Indonesia bisa “ngamuk”. Dia hilang kesabaran dihujat dan dibuly netizen lantaran dinilai bermain jelek di babak final four Proliga 2025, beberapa waktu lalu. Akibatnya, klub Gresik Petrokimia Pupuk Indonesia yang dibelanya gagal melaju ke grandfinal.

Dengan kondisi yang belum 100% karena cedera setelah kembali dari kompetisi panjang- dengan 6 round- di V League Korea Selatan, sulit mengharapkan Megawati terus bermain bagus.

“Saya dituntut main bagus meski hanya berlatih satu hari, ya mustahil. Saya tidak pernah latihan selama 20 hari, kok dituntut main bagus. Jangan menghujat. Di Liga Voli Korea, saya latihan tiga bulan sebelum bertanding,” kata Megawati.

Kejadian itu salahsatu yang coba saya tanyakan kepada ahlinya. Seorang dokter ortopedi subspesialis cedera olahraga dan arthroskopi. Sehari-hari dia berdinas di RS EMC Sentul City Bogor, Jawa Barat.

Namanya: dr Andi Nusawarta M.Kes, SpOT.SubSp.(K-Sports Injury). Dari namanya bisa ditebak dia orang Bugis. Berdarah bangsawan dari Pangkep di Sulawesi Selatan.

Setelah janjian pagi itu, Senin (26/5/2025), saya diarahkan ke ruangan dokter Andi- begitu dia biasa dipanggil- di lantai 3. Keluar dari lift, belok kanan masuk di ruang tunggu, ada meja resepsionis dibagian tengah.

Tengok kiri-kanan sepintas saya melihat ada Pak Sofyan Hasdam. Anda sudah tahu, dia dokter yang pernah menjadi Wali Kota Bontang dua periode di Kalimantan Timur. Sekarang berkantor di Senayan sebagai anggota DPD RI periode 2024-2029 dapil Kaltim. Saat ini istrinya, dokter Neny Moerneni yang jadi Wali Kota Bontang pasca Pilkada 2024 lalu.

Dokter politik asal benua etam ini terlihat duduk lalu berpindah ke kursi roda. “Semoga operasinya lancar ya dok,” terdengar suara perawat menyapanya.

Ruangan di rumah sakit swasta ini kelihatan modern, nyaman dan bersih. Dari jendela kaca terlihat pemandangan yang sejuk, rumah di ketinggian, deretan pohon besar dan nampak jelas Gunung Salak.

Tak lama berselang, seorang pria tinggi berkaca mata muncul dari balik pintu yang tertulis sport clinic. Ups. Saya terkejut. “Apa saya salah orang atau ini mungkin hanya asistennya?” gumam saya dalam hati.

Kesan saya: tampilannya tak meyakinkan layaknya seorang dokter. Saya membayangkan sosok berbaju putih, necis dan stateskop melingkar di leher. Dia terlihat stylish dengan balutan stelan baju training warna hijau, celana biru dan sepatu kets.

“Lebih mirip atlet daripada dokter,” canda saya sambil kami berjalan ke lounge dokter di lantai bawah.

“Sehari-hari ya begini. Kalau ada kegiatan formal menyesuaikan juga,” jelasnya.

Setiap pagi dia mengaku jalan kaki sekitar 5 km keliling kompleks rumah sakit dan lanjut gym sebentar.

Dokter “daeng” Andi lahir di Makassar 27 Desember 1972. Anak dari pasangan Dr.H. A. Syamsu Alam SH,MH (ayah) yang berkarir di MA dan Hj A.Wahidah (ibu). Di keluarga nama panggilannya “Cua”, anak ke-2 dari enam orang bersaudara.

Andi kecil sekolah di SD Muhammadiyah Makassar dan SMP Islam Athirah. Tamat SMP kembali ke kampung masuk SMA Negeri Bungoro. Naik kelas dua pindah ke SMA 2 Makassar. Karena “kenakalan” remaja diputuskan ortunya untuk mengirimnya ke Yogyakarta. Di kota gudeg tamat di SMA Muhammadiyah 2.

Awalnya dia berniat daftar masuk Akmil. Tapi tak jadi karena ribet dengan banyaknya persyaratan. Lalu mendaftar masuk Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Keluar pengumuman, tak lulus. Mulai pasrah. Pengumuman gelombang kedua juga belum lulus. Siap-siap angkat koper. Pengumuman ketiga, lulus.

Andi menamatkan studi Kedokteran dan menjadi dokter umum pada 2002. Lalu melanjutkan pendidikan S-2 dan menyandang gelar Magister Kesehatan pada 2011 dan studi spesialis Orthopaedi dan Traumatologi di FK Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.

Arthroskopi

Andi tipe orang haus ilmu. Dia melanjutkan pendidikan di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) UI Salemba Jakarta mengambil fellowship cedera olahraga dan arthroskopi. Kemudian lanjut lagi memperdalam fellowship cedera olahraga dan arthroskopi di Wonju Severance Hospital/Yonsei University dan Jeju National University Hospital Korea Selatan.

Menanggapi kejadian yang menimpa atlet voli Megawati, dokter Andi ikut prihatin. Latihan rutin dan recovery yang cukup, menurutnya, tentu sangat dibutuhkan setiap atlet profesional seperti Megawati. Jika tidak latihan rutin tentu performanya akan menurun.

“Setiap atlet habis bertanding atau ikut turnamen selalu dianggap cedera,” tutur dokter Andi. Hal itu semacam adagium di kalangan dunia sport medis. Karena itu, mereka perlu penanganan dan recovery yang maksimal dan komprehensif.

Kalau ditanya, apa yang paling ditakuti seorang atlet? Umumnya menjawab, cedera. Itulah momok yang selalu menghantui mereka.

Begitu cedera datang, dunia terasa gelap dan seakan kiamat bagi sang atlet. Terlepas sebesar apapun bakat atau sekonsisten apapun performanya selama ini. Apalagi jika yang dialaminya divonis kategori cedera parah. Impian prestasi dan karirnya terancam tamat.

“Cedera yang biasa dialami atlet pada tendon, ligament dan bantalan di sendi,” tandasnya.

Di sela-sela obrolan kami, saya selipkan pertanyaan: Apa kaitan nama anda “Nusawarta” dengan profesi pewarta?

Dulu ayahnya suka “ngumpul” dengan teman-teman wartawan anggota PWI Sulsel di pulau kecil tak jauh dari daratan kota Makassar. Naik perahu dari depan Benteng Roterdam, tak sampai 30 menit nyampe. Ketika itu ada kongres wartawan di pulau kayangan. Lalu, ayahnya mengusulkan nama “Nusawarta”, yang artinya pulau para pewarta, ketimbang nama “pulau kayangan” yang tak punya makna heroik.Tapi ditolak wali kota jaman itu.

“Nah pas saat itu saya lahir tuh, lalu nama itu dipakai ayah sebagai nama saya,” kenangnya.

Kemudian yang jadi pertanyaan. Di tengah euforia dan hebohnya prestasi yang ditorehkan, apakah para atlet, pelatih atau pemerintah sebagai pembina olahraga sudah menyadari betapa pentingnya sport medicine center (SMC) sebagai bagian ekosistem desain prestasi olahraga nasional.

Berdasarkan hasil berbagai riset terungkap bahwa sampai sekarang belum banyak atau masih rendah orang yang peduli dan aware mengelola dan memanfaatkan SMC sebagai instrumen untuk mencapai prestasi.

Satu hal yang juga disayangkan dokter Andi, belum adanya rumah sakit khusus di Indonesia yang menangani cedera atlet secara intesif, terintegrasi dan berkesinambungan. Di mana di situ ada fasilitas gym-nya, fisioterapi, rehabilitasi medik, dokter spesialisnya dan sarana pendukung lainnya.

“Sekarang sudah agak mendingan bisa dicover BPJS,” terangnya.

Dulu orang yang menderita cedera sendi dan tulang enggan berobat ke dokter spesialis ortopedi karena dianggap mahal. Akhirnya banyak masyarakat yang beralih ke pengobatan kampung non medis.

Ke depan dalam pikirannya, harus ada perubahan, proses transformasi besar jika kita ingin mengharapkan hasil atau prestasi yang tinggi dari atlet kita.

“Tidak mungkin ada peningkatan prestasi di level dunia jika sistem sport medicine kita tidak beranjak maju,” tukasnya.

Seorang atlet bukanlah robot. Begitu juga dokter seperti yang diinginkan Menkes BGS.

Rusman Madjulekka

Dokter Andi Nusawarta M.Kes, SpOT.SubSp. Foto: RM.

Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *