JAKARTA, jurnal-ina.com – NEGERI 1001 malam. Itulah gelar untuk Kota Baghdad di masa Harun Al-Rasyid era Bani Abbasyiah pada abad kedelapan masehi atau 12 abad yang lalu. Listrik dimasa itu memang belum ada. Namun karena majunya peradaban kota Baghdad ketika itu, membuat sulit terbayangkan kemegahannya. Dunia memberinya gelar sebagai negeri 1001 malam, atau negeri yang tak terukur kemajuan dan kemegahannya. Kemegahan dan gemerlapnya Baghdad terjadi 1.000 tahun sebelum Benjamin Franklin, Michael Faraday maupun Thomas Alva Edison.
Di era modern saat ini, listrik telah menjadi faktor penentu kemajuan peradaban satu negara. Tidak ada satupun kebutuhan masyarakat yang tidak tersentuh listrik baik di desa apalagi perkotaan. Listrik bukan hanya menjadikan “hidup menjadi lebih baik”, namun sudah lebih jauh dari itu, “listrik” telah merubah hidup menjadi lebih berkualitas dan lebih bermakna. Listrik telah mempercepat pertumbuhan perekonomian, pertanian, perikanan, perindustrian termasuk industri militer.
Dengan adanya listrik sistim komunikasi dipedesaan menjadi lebih baik. Kehidupan di desa maupun perkotaan hampir tak berjarak, setiap peristiwa yang terjadi dikota-kota besar, bahkan diseluruh belahan dunia, secara otomatis masyarakat desa langsung mengetahuinya baik melalui televisi maupun media lainnya. Hari ini twitter, facebook, instagram maupun Youtube bukan barang asing lagi bagi remaja di pedesaan.
Produksi UMKM pun tumbuh massif karena tersedianya listrik yang cukup dan andal. Industri perikanan pun tidak mau kalah. Tempat Pendaratan Ikan (TPI) modern tumbuh subur dipesisir pantai. Pemerintah daerah menjadi sangat antusias membangun TPI modern dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi didaerahnya. Lagi-lagi karena tersedianya listrik yang baik.
Listrik memang sangat dibutuhkan untuk menghidupkan cold storage. Apa jadinya kalau tidak ada alat pendingin di TPI? seberapa pun besarnya hasil panen laut, udang, ikan dan lain-lain tidak akan berguna tanpa adanya alat pendingin, karena hasil panen akan cepat membusuk sebelum didistribusikan, baik didalam negeri apalagi untuk ekspor.
Jangan heran kalau terjadi keanehan dikala panen udang berkurang, yang terjadi bukannya menjadi lebih mahal sesuai teori ekonomi tentang supply dan demand. Harga udang justru jatuh. Mengapa demikian? Karena cold strorage kurang berminat menampung hasil panen yang jauh di bawah kapasitas cold storage, dalihnya penggunaan listriknya tidak efisien.
Ketersedian listrik dipedesaan telah memberi kontribusi besar terhadap keberhasilan sistim pertanian nasional, sehingga dalam 3 tahun terakhir Indonesia berhasil swasembada beras. Salah satu yang memberi kontribusi secara signifikan adalah tingginya animo para milenial untuk ikut membangun desanya.
Mereka tidak lagi menjadi penduduk musiman di kota-kota besar. Hal itu terjadi karena telah tersedia berbagai sarana pertanian modern dan fasilitas komunikasi yang hampir sama dengan yang dimiliki para milenial di perkotaan. Profesi petani tidak lagi didominasi oleh para orang tua dengan pendidikan yang pas-pasan. Para milenial berstatus sarjanapun sudah ikut bahu-membahu membangun desa.
Dalam beberapa tahun terakhir masalah krisis listrik nyaris sudah tak terdengar. Kalaupun terjadi padam, akan segera pulih. Kota-kota besar menjadi terang benderang. Jakarta yang kebutuhan listriknya konon lebih dari 10.000 MW telah menjadi kota dunia yang membanggakan kita semua. Kawasan GBK menjadi kawasan yang bak negeri 1001 malam. Jakarta International Stadium (JIS) di utara kota Jakarta juga tidak kalah megahnya. Bahkan dianggap sebagai salah satu stadion sepakbola termegah di dunia. Apa jadinya kalau seandanya listrik di DKI pas-pasan?
Namun demikian, masih ada tantangan lain yang kita hadapi. Yaitu ancaman polusi dan terjadinya pemanasan global yang konon mengancam kehidupan manusia. Salah satu di antara penyumbang polusi terbesar adalah penggunaan bahan bakar fosil. Jakarta menjadi salah satu kota dengan tingkat polusi yang tinggi karena tingginya mobilitas kendaraan. Anda bisa melihat birunya langit Jakarta hanya setelah hujan lebat.
Tersadar akan masalah tersebut, maka berlomba-lombalah para produsen kendaraan memproduksi motor dan mobil listrik, bahkan mobil bus pun mulai diproduksi secara massal. Yaa… kendaraan listrik memang bukan saja akan mengurangi polusi namun juga sekaligus menjadi kendaraan yang efisien dan signifikan mengurangi beban negara mensubsidi bahan bakar minyak (BBM).
Sayang, karena sampai saat ini kami belum mendengar adanya keinginan para produsen mobil memproduksi mobil truk berbahan bakar listrik. Kalau seandainya mobil truk listrik sudah tersedia, maka kita tidak akan melihat puluhan mobil truk antri berjam-jam bahkan berhari-hari di sekitar SPBU.
Stone Crusher
Akibat lain dari kelangkaan solar banyak perusahaan yang hidup enggan mati tak mau, seperti nasib para pengusaha “stone crusher” di Palu Sulawesi Tengah. Mereka memang mengandalkan solar untuk menghidupkan genset atau generator “stone crusher” mereka. Ketika solar masih cukup tersedia perusahaan “stone crusher” tumbuh subur disepanjang jalan dari kota Palu menuju kabupaten Donggala. Perusahaan-perusahaan ini memproduksi batu split ukuran 2-3, 3-5, 5-7 cm untuk campuran jalan beton, tiang pancang maupun tiang listrik. Sebagian lagi disupply ke Kalimantan, jangan heran kalau batu split (cipping) dan batu 5-7 di Kaltim dikenal sebagai batu Palu.
Namun akibat kelangkaan BBM dan adanya pandemi Covid19 banyak perusahaan yang gulung tikar. Dari sekitar 72 perusahaan, saat ini yang tersisa hanya 30-an. Itupun sebagiannya adalah perusahaan BUMN. Perusahaan swasta yang bermodal nekat umumnya sudah tidak beroperasi. Bahkan Bosowa yang dianggap sebagai salah satu perusahaan terbesar di Indonesia timur juga telah memasang papan dipagar pembatasnya dengan tulisan “dijual”.
Sungguh ironis, Ketika Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara akan mulai dibangun, belum ada tanda-tanda perusahaan “stone crusher” di areal ini bergairah kembali, padahal kebutuhan material produksi “stone crusher” untuk pembangunan IKN pasti sangatlah besar.
Sangat disayangkan, akibat kelangkaan BBM perusahaan-perusahaan itu seakan terbelenggu. Tidak ada upaya lain agar stone crusher mereka yang berdaya puluhan kVA dapat dioperasikan kembali. Padahal sebenarnya ada alternatif lain yang jauh lebih baik dan lebih efisien, yaitu listrik PLN. Apalagi semua perusahaan tersebut terletak persis dipinggir jalan. Jaraknya pun berdekatan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Jaringan distribusi juga tersedia disepanjang jalan, karena jalan itu adalah jalan utama antar propinsi di Sulawesi.
Mengapa dan ada apa? Apakah mereka kurang berminat atau tidak tahu bahwa di Sulawesi Tengah saat ini sudah terlepas dari krisis listrik? Bahkan PLN telah menawarkan berbagai program pelayanan yang memudahkan bagi calon pelanggan. Apakah mereka tidak tahu bahwa apabila telah menjadi pelanggan PLN, mereka tidak perlu repot mendatangi SPBU untuk membeli BBM, karena aliran listrik akan diantar langsung untuk menghidupkan mesin stone crusher mereka.
Artinya dengan penggunaan listrik pasti akan jauh lebih baik dan lebih efisien dari pada menggunakan genset sendiri. Manfaat lainnya, gubernur, wali kota dan Bupati di Propinsi Sulawesi Tangah akan tidur lebih nyenyak, karena tidak perlu pusing dan mikir masalah kelangkaan BBM di daerahnya. Bagi PLN, Insya Allah akan tumbuh pelanggan industri yang signifikan di areal tersebut.
Dari sekelumit cerita di atas dapat kami simpulkan bahwa hari ini listrik telah menjadi sumber energi terbaik yang berperan bukan hanya untuk penerangan dan berbagai manfaat lainnya, namun juga telah dan akan mengganti peran energi lainnya. So, listrik saat ini telah menghasilkan 1001 manfaat…!
Penulis pengamat energi dan mantan kepala divisi (EVP) umum dan manajemen PT PLN Pusat.