JAKARTA, jurnal-ina.com – Pertumbuhan ekonomi Triwulan IV-2021 dan secara kumulatif tahun 2021 yang diumumkan oleh BPS masih jauh dari kata memuaskan. Demikian dikatakan Ekonom Universitas Paramadina, Dr. Handi Riza di Jakarta, Selasa (8/2/2022).
Lebih lanjut Handi mengatakan bahwa Ekonomi Indonesia triwulan IV-2021 terhadap triwulan IV-2020 mengalami pertumbuhan sebesar 5,02% (y-on-y). Sedangkan secara kumulatif perekonomian Indonesia tahun 2021 tumbuh sebesar 3,69%.
“Dengan melihat trend windfall harga barang komoditas terutama CPO dan Batu Bara serta pertumbuhan ekonomi pada tahun sebelumnya yang low base masih terkontraksi sebesar 2,07%, seharusnya pertumbuhan ekonomi bisa mencapai angka 5%,” katanya.
Handi Risza yang juga wakil Rektor Universitas Paramadina ini juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 masih ditopang oleh belanja kesehatan menghadapi Covid-19, khususnya varian Delta pada pertengahan tahun.
“Hal ini terbukti dari lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 10,46%. Tetapi sektor manufaktur dan industri pengolahan belum tumbuh seperti yang diharapkan. Terhambatnya pertumbuhan ekonomi tahun 2021 tidak bisa dilepaskan dari lemahnya antisipasi pemerintah menghadapi varian Delta pada Triwulan III-2022,” ujarnya.
Akselerasi stimulus PEN tidak optimal
Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya lanjut Handi, pertumbuhan PDB menurut pengeluaran tertinggi terjadi pada Komponen Ekspor Barang dan Jasa, khususnya barang-barang komoditas pertambangan dan perkebunan sebesar 24,04%. Diikuti Komponen belanja pemerintah sebesar 4,17%. Sedangkan komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi sebesar 3,80%, baru kemudian Konsumsi Rumah Tangga sebesar 2,02%.
“Rendahnya pertumbuhan belanja Pemerintah dan Konsumsi rumah tangga, menandakan bahwa akselerasi stimulus PEN tidak optimal. Hal ini terlihat dari daya serap PEN sepanjang tahun 2021 hanya mencapai 88%,” urainya.
Dr. Handi Riza juga mengingatkan bahwa pada tahun 2022 Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ancaman inflasi mulai terasa, terutama dari kenaikan harga LPG Non-Subsidi, minyak goreng, serta bahan makanan. “Inflasi diperkirakan akan menggerus daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah. Pada saat yang sama pembukaan lapangan pekerjaan masih belum pulih seperti sebelum terjadinya Covid-19,” tutur dia.
Kondisi tahun 2022 menurut Handi akan semakin berat, mengingat pemerintah mulai mempersiapkan konsolidasi fiskal untuk memasuki defisit anggaran kembali normal dibawah 3% dalam APBN 2023. Ditambah beban bunga utang yang mesti dikeluarkan makin besar.
“Praktis ruang fiskal yang dimiliki pemerintah akan semakin mengecil. Sementara kondisi ketidakpastian global dan domestik akibat serangan Virus Covid-19 varian Omnicorn sedang beranjak naik menuju puncak. Tantangan 2022 akan semakin berat, sebaiknya Pemerintah fokus untuk mengawal perekonomian nasional, ketimbang membangun Ibu Kota Negara yang tidak penting dan mendesak untuk saat ini,” pungkasnya.
ENDOT BRILLIANTONO
“
“Tantangan 2022 akan semakin berat, sebaiknya Pemerintah fokus untuk mengawal perekonomian nasional, ketimbang membangun Ibu Kota Negara yang tidak penting dan mendesak untuk saat ini,” pungkasnya.